Sabtu, 23 Januari 2016

muhammadiyah

Muhammadiyah dan Pendidikan
A.    Awal munculnya lembaga Pendidikan di Muhammadiyah
Sebagai sebuah gerakan Islam yang lahir pada tahun 1912 Masehi dan kini hampir memasuki usia 100 tahun, telah banyak yang dilakukan oleh Muhammadiyah bagi masyarakat dan bangsa Indonesia secara luas. Sehingga harus diakui bahwa Muhammadiyah memiliki kontribusi dan perhatian yang cukup besar dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Persyarikatan Muhammadiyah telah menempuh berbagai usaha meliputi bidang dakwah, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya, yang secara operasional dilaksanakan melalui berbagai institusi organisasi seperti majelis, badan, dan amal usaha yang didirikannya.
Lahirnya pendidikan Muhammadiyah yang modern tidak lepas dari sejarah pada Dasawarsa terakhir abad 19 Pemerintah Belanda memulai system pendidikan liberal di Indonesia. Pendidikan ini diperuntukkan bagi sekelompok kecil orang Indonesia, sehingga tahun 1870 mulai tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga diperuntukkan bagi umat Islam Indonesia. Perluasan pendidikan ke pedesaan yang diperuntukkan seluruh lapisan masyarakat, baru dilaksanakan pada awal abad ke 20 dengan apa yang dinamakan ethise politiek, sebagai akibat dari desakan kaum ethis yang berorientasi humanistic agar pemerintah colonial juga mulai memperhatikan rakyat pribumi di negeri jajahannya (steenbrink 1986 : 23; Kartodirjo, 1999:30)
Pada masa pemerintahnya (Belanda) terdapat model 4 model perskolahan belanda yaitu :
a.       Sekolah Eropa yang menampung anak birokrat Hindia Belanda. Dan kurikulumnya sama dengan negeri Belanda
b.      Sekolah Barat Sekolah yang menampung anak-anak yang berwarga Negara Belanda
c.       Sekolah Vernakuler Sekolah yang di desain oleh belanda demi kepentingan mereka sendiri
d.      Sekolah Pribumi, system sekolah yang ada di luar kendali Belandasekolah-sekolah yang di dirikanoleh lembaga agama
Sistem sekolah ini telah melahirkn jurang pemisah yangmakin melebar antara Belanda dengan penduduk pribumi. Di samping itu juga Pendidikan Islam yang berbasis di Pesantren tidak saja kontras dengan pendidikan colonial tetapi juga kontras dengan system didaktik-pedagogisnya. Pendidikan Islam tertinggal dan tidak dapat memberikan perspektif –perspektif k depan.
Menghadapi realitas sistem pendidikan Barat dan Islam yang dualistic ini, ahmad Dahalan mencoba mengatasi dengan cara perpaduan model sebagai jalan engah dari kebutuhan sistem yang ada. Upaya kompromi ini diawali dengan mengidentifikasi masalah yang di hadapi umat Islam pada wakti itu dan dipandang perlu segera mendapatkan jawaban dalam bidang pendidikan.
Untuk mensosialisasikan gagasan pembaruannya dalam bidang pendidikan, Ahmad Dahlan mencoba memulai dengan membimbing berbeapa orang keluarge dekat serta beberapa sahabatnya. Tempat yang pertama kali digunakan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya adalah pengajian-pengajian dan tempat-tempat lain di mana ia memberikan pelajaran. Setelah upaya dalam menyampaikan benih-benih pembaruan diduga membuahkan hasil sehingga dibuat wadah untuk menampung gagasan tersebutyaitu “Pergerakan Muhammadiyah”.
Dari sejarah ini dapat dipahami bahwa : Pertama, Pendidikan Muhammadiyah lahir adalah dalam keadaan suasana pendidikan umat yang memperihatinkan, terutama pendangkalan nilai-nilai Islam dalam suatu proses penjajahan yang mengarah ke sekluerisasi. Kedua, cikal bakal Pendidikan Muahmadiyah Pendidikan Muhammadiyah adalah pengajian-pengajian dengan suasanan kesederhanaan yang langsung dibimbing Ahmad Dahlan. Ketiga, untuk mewujudkan cita-cita Pembaruan dalam pendidikan ini, Ahmad Dahlan dengan kesungguhannya dan secara terus menrus menanamkam benih-benih pembaruan baik melalui sekolah di mana ia mengajar maupun ceramah-ceramahnya. Pada proses selanjutnya, pendidikan Muhammadiyah ini berkembang dengan pesat, sekaligus mempunyai spesifik, yaitu sistem pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Pendidikan Muhammadiyah tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika masyarakat[1][1].
Pesatnya perkembangan Pendidikan Muhammaadiyah ini juga dibuktikan dengan beberapa sekolah yang tertua yaitu :
a.       Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta
b.      Muallimin Muhammadiyah, Solo, Jakarta.
c.       Muallimat Muhammadiyah, Yogyakarta
d.      Zu’ama/Za’imat, Yogyakarta
e.       Kulliyah Mubalighin/Mubalighot, Sumatera Tengah
f.       Tablighscool, Yogyakarta
g.      H.I.K Muhammadiyah Yogyakarta.
h.      Wustho Muallimin[2][2]
B.     Cara penyelenggaraan Pendidikan Muhammadiyah
Sejarah perjalanan dan kiprah tokoh pendiri Muhammadiyah dalam membangun dan mengelolah Pendidikan Muhammadiyah pada masa awal berdasarkan hal-hal berikut:
Pertama, dari sudut pandang sejarah, dapat diperhatikan bagaimana generasai awal Muhammadiyah membangun Pendidikannya dengan mekanisme bottom up. Aspek sosiologis agaknya jadi pertimbangan penting dalam desain pendidikan Muhammadiyah. Semua amal usaha (pendidikan) Muhammadiyah didirikan atas prakarsa umat dari bawah. Tidak satupun institusi Pendidikan Muhammadiyah yang dibangun berdasarkan surat keputusan (SK) atau instruksi dari kantor pimpinan pusat (Suyanto, 2003:93). Dengan kata lain by birth, demokratisasi sistem pendidikan dalam tahapan tertentu sudah terwujud, karena pendidikan Muhammadiyah lahir dari dan untuk “umat” Muhammadiyah.
Kedua, sistem pendidikan yang berbeda dari umumnya sistem pendidikan yang ada di masyarakat sehingga menjadi pendidikan alternative. Desain awal pendidikan Muhammadiyah berangkat dari motivasi teologis yang kuat; yaitu manusia akan mencapai derajat keimanan dan ketaqwaan yang sempurna jika memiliki kedalaman ilmu pengetahuan (Mu’ti, 2003 : 103). Inilah yang kemudian menjadi garis pembeda antara out put pendidikan Muhammadiyah dengan out put pendidikan konvesional barat dan pendidikan tradisonal. Eksistensi pendidikan Muhamadiyah pada waktu itu memiliki nilai tawar yang tinggi karena mampu melhirkan generasi yang “lebih sempurna”.
Ketiga, oreintasi ke depan dalam penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyh berorientasi mempersiapkan lulusannya untuk memasuki Indonesia baru yang merdeka dengan segala modernitasnya. Dengan perkataan lain, Pendidikan Muhammadiyah harus menyiapkan anak didiknya agar tetap survive di masa yang akan datang. Karena masa yang akan datang tentu akan berbeda dengan masa yang sekarang.
Keempat, pengorbanan baik pikiran, tenaga maupun harta. Pada umumnya pada perintisan pendidikan Muhammadiyah adalah orang yang sadar akan panggilan perjuangan. Mereka berkorban untuk kepentingan pengembangan pendidikan, amal usaha Muhamadiyah yang diharapkan menjadi penyangga masa depan gerakan. Pengemabngan Pendidikan Muhammadiyah mesti mempertimbangkan aspek nilai dan aspek spirit perjuangan tokoh-tokoh terdahulu, mewarisi keteladanan mereka dengan tetap mempertimbangkan propesionalisme dalam pengelolaannya, sejalan dengan tuntutan zaman[3][3].
                            
     Pada intinya, penyelenggaraan pendidikannya dilakukan oleh Majelis Penyelenggara, dan pengelolaan teknisnya dilaksanakan oleh kepala sekolah masing-masing,” ucap Abdul Mu’ti.
Lebih jauh Abdul Mu’ti mengungkap, “Dalam pengelolaan lembaga pendidikan dan sekolah di Muhammadiyah, dijalankan konsep sentralistik konsultatif.”  Dalam pengertian bahwa pengembangannya tak bisa dilakukan secara terpisah-pisah tanpa melibatkan pimpinan persyarikatan. Hingga dalam proses seleksi dan pengangkatan guru, tak sepenuhnya dilakukan oleh kepala sekolah, melainkan melibatkan Majelis Dikdasmen dan Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah[4][4].
C.    Tujuan pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah pada permulaan berdirnya belum merumuskan secara jelas tentang tujuan pendidikannya. Hal ini tidak berati Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan tanpa tujuan. Meski belum drimuskan secara tegas, pendidikan Muhammadiyah sejak permulaan berdirinya sudah memiliki tujuan. Dilihat dari sistempendidikan yang dikembangkan ada pendapat vahwa tujuan pendidikan Muhammadiyah sejak didirikan adalah “Membentuk Alim Intelektual”, yaitu seorang muslim yang seimbang ilman dan ilmunya, ilmu agama dan ilmu umum, orang yangkuat rohani dan jasmaninya. Tujan Pendidikan Muhammadiyah ini dirumuskan dalam pernyataan yang sering disampaikan Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya dalam pengajian yang dipimpinnya. Dalam bahasa Jawa pernyataaan itu adalah: “dadiyo kyai sing kemajuan, lan ojo kesel-kesl anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah” (jadilah ulama yang modern danjangan merasa lelah bekerja untuk Muhammadiyah) 
Sedangkan tujuan pendidikan Muhammadiyah yang sampai saat ini menjadi rujukan bagi perguruan Muhammadiyah adalah bagaimana tertuang dalam Qoidah Pendidikan Dasar dan Menegah Bab I pasal 3 sebagai berikut :
“Pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyah bertujuan : “membentuk manusia muslim yang beriman, bertaqw berakhlaq mulia, cakap percaya dri, memajukan dan memperkembangkan ilmu pengetahuan dan ketereampilan dan beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil danmakmur yang diridhai oleh Allah SWT .
Dalam tujuan ini terdapat (terkandung) nilai-nilai fundamental yang secara implicit jelas merujuk pada nilai-nilai Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Pada rumusan ini pertama diwarnai semangat juang untuk menumbangkan kolonialisme. Pada rumusan kedua orientasinya lebih mnekankan upaya pengisian atau berpean serta dalam pembangunan bangsa pascakemerdekaan. Pada rumusan ketiga lebih kongkret dan realities. Namun secara garis besar ketiga rumusan di ats dapat simpulkan bahwa tujuan pendidikan Muhammadiyah ialah membentuk muslim yang cakap, berakhlaq mulia, percaya kepada diri sendir dan berguna bagi masyarakat. Secara implisist berarti tidak hanya ingin melahirkan kader-kader Muhammadiyah, tetapi juga putra-putri bangsa yang Islami, berilmu pengetahuan dan mempunyai wawasan ke depan (visioner) sebagai upaya menuju pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, lahir dan batin seperti yang dicita-citakan seluruh bangsa Indonesia[5][5].
Tujan Pendidikan Muhammadiyah di telah dirumuskan dan telah di sahkan oleh Majlis Tanwir yang intinya Pendidikan Muhammadiyah ialah membentuk manusia muslim, berakhlaq mulia, cakap, percaya kepada diri sendiri dan berguna untuk masayarakat umum. Dari tujuannya saja sudah nampak adanya kemiripan antara tujuan Pendidikan Muhammadiyah dengan tujuan pendidikan Republik Indonesia dan kedua tujuan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan R.I[6][6].
D.    Kontribusi Muhammadiyah dalam Pendidikan
Muhammadiyah bisa dibilang sebagai pelopor Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.  Semua hali jerih payah K.H ahmad dahlan dapat dirasakan manfaatnya hingga saat ini. Muhamadiyah merupakan organisasi di luar pemerintahan yang meiliki lembaga pendidikan dan pengajaran terbesar di Indonesia[7][7]
Pemabaruan pendidikan meliputi dua segi. Yaitu segi-cita-cit dan teknik pengajaran. Dari segi cita-cita yang dimaksud K.H ahmad Dahlan ialah ingin membentuk manusia muslim yang baik budi pekerti, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan faham masalah keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuanmasyarakat.
Adapun teknik, lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pendidikan. Dengan mengambil unsur-unsurnya dari sistem pendidikan Barat dan Sistem Pendidikan tradsional, Muhammadiyah berhasil membangun sistem pendidikan sendiri. Seperti sekolah model barat , tetapi dimasukkan ajaran agamadi dalamnya, sekolah agama dengan menyertakan pelajaran secular. Bermacam-macam sekolah kejuruan dan lain-lain. Sedangkan cara penyelenggaraannya, proses belajar mengajar itu tidak lagi dilaksanakan di masjid atau langgar, tetapi digedung yang khusus, yang dilengkapi oleh meja, kursi dan papan tulis, tidak lagi duduk di lantai[8][8].
Wirjosukarto (1965) dalam bukunya “Pembaruan Pendidikan dan Pengajaran oleh Pergerakan Muhammadiyah menjelaskan bahwa teknik pengarajan Muhammadiyah adalah sebagai berikut :
a.       Cara belajar dan mengajar dalam lembaga Pendidikan Muhammadiyah dibandingkan pendidikan tradisonal lebih modern dan system klasikal seperti yang dilakukan oleh Pendidikan Barat
b.      Bahan Pelajaran. Di lembaga Pendidikan Tradisonal hanya mengajarakan ajaran Agama saja. Sedangkan di Muhammadiyah di ajarkan ilmu umum dan agama.
c.       Rencana Pelajaran. Pendidikan Muhammadiyah sudah mengatur kurikulum dengan baiak, sehingga efesiensi pembelajaran bias terjamin dengan baik
d.      Pengasuh dan Guru. Di lembaga pendidikan Muhammadiyah terdapat guru agama dan guru umum dibandingkan denganlembaga Tradisonal hanya memiliki guru agama saja yagn berpengalaman dibidangnya.
e.       Hubungan guru dan murid terlihat lebih akarabdan Susana yangmenyenangkan dibandingkan dengan lembaga pendidikan tradisional yang lebih bersifat otoriter[9][9].
Selain pembaruan dalam lembaga pendidikan formal, Muhammadiyah telah memperbaharui bentuk pendidikan tradional non formal yaitu, pengajaran. Semula pengajian dilakukan di mana orang tua atau guru prvat mengajara naka kecil membaca al-Qur’an dan beribadah. Oleh Muhammadiyah diperluas, dan pengajian disistematiskan ke dalam bentuk, juga isi pengajian diarah pada masalah-masalah kseharikehidupan sehari-hari umat Islam.
Begitu pula Muhamadiyah telah berhasil mewujudkan bidang-bidang bimbingan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi. Seperti mempelopori mendirikan Badan Penyuluhan Perkawinan di kota-kota besar.
Dengan penyelenggaraan pegajian dan nasihat yang bersifat pribadi tersebut, dapat ditunjukkan bahawa Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan mmanusia. 
Berdasarkan data terbaru (Profil Muhammadiyah) amal usaha Muhammadiyah si bidang pendidikan berjumlah 5.797 buah, merupakan angka yang cukup fantastis untuk sebuah lembaga pendidikan yang dinaungi dalam satu payung organisasi dengan rincian ; 1132 Sekolah Dasar ; 1769 Madrasah Ibtidaiyah ; 1184 Sekolah Menengah Pertama; 534 Madrasah Tsanawiyah ; 511 Sekolah Menengah Atas ; 263 Sekolah Menengah Kejuruan ; 172 Madrasah Aliyah ; 67 Pondok Pesantren ; 55 Akademi ; 4 Politeknik ; 70 Sekolah Tinggi dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Total jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sebanyak itu merupakan bilangan yang cukup fantastis bagi sebuah organisasi sosial keagamaan dimanapun. Apalagi keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan pengejawantahan dari model pemahaman keagamaan (keIslaman) di Muhammadiyah. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan, pemahaman atau idiologi apa yang diterapkan oleh Muhammadiyah dalam mengurusi lembaga pendidikan yang sebesar itu. Mungkin langsung timbul sebuah jawaban dari pertanyaan tersebut tentu saja idiologi Islam yang di gunakan karena Muhammadiyah berasaskan Islam (AD/ART Muhammadiyah)[10][10].
Di samping itu juga dari berbagai Universitas dan sekolah tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia tersebut, setidaknya saat ini tercatat lebih 300 ribu orang merupakan mahasiswa universitas Muhammadiyah, dan jumlah ini merupakan 10 persen dari jumlah total keseluruhan Mahasiswa Indonesia. “Ini artinya, Perguruan Tinggi Muhammadiyah sudah dipercaya oleh masyarakat luas dan tentunya dinilai berkualitas,” katanya. 
Bahkan menurut Khairul saat ini ada lima Universitas Muhammadiyah di Indonesia yang jumlah mahasiswanya di atas 10 ribu orang, dan untuk Sumatera terdapat di Sumatera Utara dan Sumatera Barat dengan jumlah mahasiswa masing-masing 12 ribu dan 10 ribu orang. Sementara untuk pulau jawa terdapat di universitas Muhammadiyah Jogjakarta dan lainnya.
Kharul menambahkan, meski Muhammadiyah oraganisasi Islam, Universitas Muhammadiyah di Indonesia ini tidak hanya menerima orang-orang yang beragama Islam saja, melainkan juga dari Agama lain. “Sebagai contoh di Universitas Muhamamadiyah Kupang, ini jumlah mahasiswa non muslim mencapai 75 persen lebih,” ujarnya[11][11].
   Dalam bidang kesehatan, hingga tahun 2000 Muhammadiyah memiliki 30 Rumah Sakit Umum, 13 rumah Sakit Bersalin, 80 Rumah Bersalin, 35 Balai Kesehatan Ibu dan Anak, 63 Balai Pengobatan, 20 Poliklinik, Balkesmas, dan layanan kesehatan lain. Lalu, dalam bidang kesejahteraan sosial, hingga tahun 2000 Muhammadiyah telah memiliki 228 panti asuhan yatim, 18 panti jompo, 22 Bakesos, 161 Santunan keluarga, 5 panti wreda manula, 13 santunan wreda/manula, 1 panti cacat netra, 38 santunan kematian, serta 15 BPKM. Dalam bidang ekonomi, hingga tahun 2000 Muhammadiyah memiliki 5 Bank Perkreditan Rakyat













MUHAMMADIYAH DAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Tanggal: Monday, 07 July 2008
Topik: percaturan wartawan portal depsos
Pembangunan Kesejahteraan sosial sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk memperbaiki taraf kesejahteraan sosial masyarakat, tidak hanya menjadi kewajiban negara / pemerintah. Akan tetapi, masyarakat, organisasi atau lembaga-lembaga non negara/pemerintah dituntut ikut berpartisipasi. Hal itu dapat dilihat dalam UU No.6 tahun 1974 Tentang ketentuan – ketentuan pokok kesejahteraan sosial pada Bab III pasal 8 yang berbunyi: Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan usaha-usaha kesejahteraan sosial dengan mengindahkan garis kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan.

Terkait dengan itu, salah satu organisasi sosial keagamaan yang cukup berperan dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah Muhammadiyah. Apa dan bagaimana usaha-usaha kesejahteraan sosial di kelola oleh Muhammadiyah ?

Usaha Kesejahteraan Sosial sebagaimana tertuang pada UU No.6 tahun 1974, pada pasal 2 ayat 2 ialah semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial.

Terkait dengan itu, usaha kesejahteraan sosial yang dikelola Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah/sosial, didasarkan pada Al Qur’an surat Al Maaun yang isinya menganjurkan supaya kaum muslimin peduli akan penderitaan kaum muslimin lainnya yang mengalami masalah-masalah kesejahteraan sosial seperti kemiskinan, kekurangan gizi, yatim piatu dan lain-lain.

Berdasarkan surat Al Maaun itu, untuk mengelola usaha-usaha kesejahteraan sosial, Muhammadiyah sebagai organisasi mengembangkan dakwahnya pertama kali dengan mendirikan Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU Muhammadiyah). Di masa kepemimpinan Din Syamsudin (2005-2010) Majelis ini bernama Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat di mana usaha bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial bergabung di dalamnya.

Melihat usaha-usaha kesejahteraan sosial yang menonjol di kelola oleh Muhammadiyah adalah mendirikan panti-panti sosial buat anak-anak yatim dan anak-anak terlantar. Di samping panti ada juga usaha non panti atau berbasis masyarakat, tetapi skopnya masih kecil.

Melihat hasil yang dicapai oleh Muhammadiyah dalam pengelolaan usaha kesejahteraan sosial, hingga saat ini terdapat lebih dari 300 panti sosial dimiliki organisasi ini dan tersebar di seluruh Indonesia. Untuk memperbaiki kenerja pelayanan sosial pada setiap panti, saat ini Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat - semacam Departemen dalam pemerintahan - membentuk Forum Panti Sosial



Muhammadiyah dan Aisyiyah. Forum panti inilah yang meneruskan komunikasi dengan Departemen Sosial mewakili majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat PP Muhammadiyah. Melalui forum ini dapat dipantau kekuatan dan kelemahan panti-panti sosial Muhammadiyah ini untuk diperbaiki kinerja pelayanannnya. Ke depan, yang perlu dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah usaha-usaha non panti atau usaha-usaha kesejahteraan sosial yang berbasis masyarakat. Mengapa ini perlu dikembangkan ? Disamping lebih dekat dengan budaya Islam dan budaya bangsa Indonesia, juga tidak memerlukan bangunan gedung karena anak asuh ditempatkan di dalam keluarga atau di masyarakat.

(Almisar Hamid, pengurus Forum Panti Sosial Muhammadiyah/Aisyiyah (Forpama) dan dosen pada jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Univ Muhammadiyah Jakarta.














.Muhammadiyah dalam kehidupan ekonomi masyarakat

Kegiatan ekonomi untuk memperkuat finansial bagi sebuah organisasi, seperti Muhammadiyah, pada hakikatnya merupakan bagian terpenting untuk memperlancar gerakan Muhammadiyah dalam mencapai tujuannya. Di samping itu, gerakan ekonomi persyarikatan Muhammadiyah juga akan berdampak pada pemberdayaan ekonomi warganya, dengan upaya menciptakan lapangan kerja dan mengatasi problem pengangguran yang semakin besar, dan angka kemiskinan yang makin membengkak yang dapat mengancam eksitensi iman.
Progam pembinaan ekonomi umat merupakan kepedulian sejak lama, karena memang konsisten Muhammadiyah sejak dahulu wirausahawan reformis malah sejak lama merupakan perintis perdagangan dan industri di kalangan pribumi.Hal ini dilakukan dengan penyusunan sebuah progam yang didasarkan pada konsep misi dan visi tertentu. Pada dasarnya, Majlis Pembina Ekonomi membina ekonomi umat melalui tiga jalur, yaitu:

1.Mengembangkan Badan Usaha Milik Muhammadiyah yang mempresentasikan kekuatan ekonomi organisasi Muhammadiyah.
2.Mengembangkan wadah koperasi bagi anggota Muhammadiyah.
3.Memberdayakan anggota Muhammadiyah di bidang ekonomi dengan mengembangkan usaha-usaha milik anggota Muhammadiyah.
Dengan mengembangkan ekonomi itu, Muhammadiyah telah memiliki aset atau sumberdaya yang bisa dijadikan modal. Aset pertama adalah sumber daya manusia, yaitu anggota Muhammadiyah sendiri, baik sebagai produsen, Kedua, kelembagaan amal usaha yang telah didirikan, yaitu berupa sekolah, universitas, lembaga latihan, poliklinik, rumah sakit dan panti asuhan yatim piatu. Ketiga, organisasi Muhammadiyah itu sendiri sejak dari pusat, wilayah, daerah, cabang dan ranting.
Dapat disimpulkan bahwa, gerakan ekonomi Muhammadiyah bisa disajikan antara lain dengan:

1.Mendirikan koperasi di berbagai jajaran jenis koperasi sebagai sarana untuk melakukan perkuatan ekonomi ummat.
2.Mendirikan Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) dalam berbagai bidang jasa, perdagangan, pariwisata, perkebunan, perikanan dan lain-lain.
3.Lembaga keuangan untuk mendukung usaha-usaha ummat yaitu  Baitul Mal wa Tanwil (BMT), BPR Syariah,koperasi dan lain-lain.
4.Sharing dalam berbagai perusahaan yang bonafit dan kompetitif.
5.Membangun jaringan informasi bisnis, seperti memberikan berbagai penjelasan informasi kepada warga Muhammadiyah tentang bagaimana bisnis obat, bahan tekstil, bahan kimia, rumah makan dan lain-lain. Informasi ini juga meliputi bagaimana pandangan melakukan kegiatan produksi, pemasaran jaringannya, tata niaganya dan lain-lain.
6.Membangun jaringan kerja sama bisnis dengan semua pengusaha dan koperasi Muhammadiyah untuk saling membantu baik dari segi informasi, kiat bisnis maupun pendanaan.


B. Visi dan misi muhammadiyah di bidang Ekonomi dan ZIS

Rencana strategis bidang Wakaf, ZIS (Zakat, Infaq, dan Shadaqah), dan Pemberdayaan Ekonom adalah: Terciptanya kehidupan sosial ekonomi umat yang berkualitas sebagai benteng atas problem kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan pada masyarakat bawah melalui berbagai program yang dikembangkan Muhammadiyah.
Berdasarkan garis besar program, Majelis ini mempunyai tugas pokok antara lain:
1)      Peningkatan pengelolaan ZIS (Zakat, Infaq, dan Shadaqah) dan akuntabilitasnya sehingga menjadi penyangga kekuatan gerakan pemberdayaan umat.
2)      Peningkatan mutu pengelolaan wakaf dan perkuasan gerakan sertifikasi tanah-tanah wakaf di lingkungan Persyarikatan.
3)      Pengembangan bentuk wakaf dalam bentuk wakaf tunai dan wakaf produktif.

Visi
   Berkembangnya kapasitas dan bangkitnya kembali etos Muhammadiyah untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan umat.
Misi
1. Mengupayakan pembangunan ekonomi rakyat Indonesia khususnya keluarga besar Muhammadiyah.
2. Mengurangi problem kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan pada masyarakat melalui peningkatankehidupan sosial ekonomi ummat yang berkualitas.
3.  Menjadi pelopor, motivator dan atau katalisator pembaharuan/perubahan pembangunan ekonomi rakyat Indonesia berdasarkan nilai-nilai Islam.


C.Program-program untuk mencapai tujuan muhammadiyah

          Dalam mencapai tujuan muhammadiyah tersebut maka dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.Mengembangkan lembaga keuangan mikro,koperasi,dan BMT sebagai wadah kerjasama dan pemberdayaan antar pelaku usaha ekonomi di lingkunganPersyarikatan menuju pada kekuatan dan kemandirian Muhammadiyah sebagai gerakan ekonomi.
2.Meningkatkan pembinaan kualitas sumber daya manusia pelaku usaha ekonomi umat melalui kegiatan pelatihan ,pendampingan,dan konsultasi bisnis yang intensif dan sistematik.
3.Mengembangkan usaha/bisnis barang konsumsi dan usaha-usaha unggulan yang memiliki nilai tambah yang tinggi,disertai dengan dukungan permodalan,sumber daya manusia,dan jaringan yang kuat di seluruh lingkungan Persyarikatan.
4.Mengembangkan model pemberdayaan ekonomi yang berskala mikro,kecil dan menengah yang didasarkan atas kekuatan sendiri sebagai wujud cita-cita kemandirian ekonomi umat.
5.Mengembangkan jaringan dan kerjasama dengan pemerintah,swasta dan lembaga-lembaga lain dalam program-program pemberdayaan ekonomi khususnya ekonomi mikro,kecil,dan menengah yang berdampak langsung dalam membangun kekuatan masyarkat kecil(akar rumput)yang dhua’fa melalui model-model kegiatan ekonomi alternatif.
6.Mengembangkan jumlah dan kualitas BMT(Baitul Mal wa Tanwil)Muhammadiyah disertai peningkatan mutu sumberdaya manusia,tatakelola,jaringan dan kerjasama untuk mencapai tingkat keunggulan sebagai sarana pemberdayaan ekonomi umat/masyarakat.
7.Peningkatan gerakan ekonomi dikalangan warga Muhammadiyah disertai pembentukan mentalitas dan budaya kewirausahaan serta berbagai pelatihan sehingga terbangun kondisi dan infrastruktur Muhammadiyah sebagai kekuatan ekonomi.
8.Mengembangkan jaringan lembaga keuanganan mikro (syariah) di lingkungan persyarikatan untuk memperkuat kemampuan BTM/BMT melalui suatu wadah kerjasama yang mampu berperan meningkatkan akses kepada sumber daya ekonomi khususnya pendanaan,selain meningkatkan kemampuan manajemen BTM/BMT dan pengorganisasiannya dalam sistem organisasi Muhammadiyah.
9.Meningkatkan pengentasan kemiskinan dengan instrumen ZIS dan usaha-usaha ekonomi yang memiliki nilai tambah yang tinggi khususnya yang berskala kecil,mikro,dan menengah dengan memanfatkan berbagai jaringan yang dimiliki Muhammadiyah termasuk yang berbasis di cabang dan Ranting.
10.Meningkatkan kualitas sumberdaya,organisasi dan manajemen,administrasi,sinergi,dan pelayan dalam menggerakkan,pengelolaan dan pemanfaatan wakaf dan ZIS(Zakat,Infak,dan Shodaqah )dengan memobilisasi seluruh potensi.
11.Pengembangan pemanfaatan fungsi pengelolaan fungsi pengelolaan zakat,infak,dan shodaqah ke hal-hal yang lebih prokduktif selain yang bersifat kedermawanan.
12.Meningkatkan pembinaan dan jaringan lembaga-lembaga ZIS Muh sehingga memiliki fungsi yang efektif dan produktif  dalam menjalankan kegiatannya.

D.Kendala dan hambatan yang dihadapi muhammadiyah

          Sejajar dengan perkembangan muhammadiyah yang berkembang pesat,dibalik itu semua juga menghadapi tantangan dalam diri muhammadiyah itu sendiri sehingga diperlukan introspeksi bagi seluruh jajaran Muhammadiyah.Kelemahan tersebut berkisar antara lain:
(1) terlambat atau tidak meningkatkan kualitas dan intensitas pengelolaan masjid dan amal usaha secara optimal dan secara lebih baik;
(2) abai atau lalai dalam menjaga milik sendiri;
(3)  tidak selektif dalam menerima anggota atau mereka yang bekerja di amal usaha dan kurang pembinaan;
(4) kurang atau tidak memiliki militansi yang tinggi, berkiprah apa adanya, dan berbuat sendiri-sendiri atau sibuk sendiri tanpa terkait dengan kepentingan Muhammadiyah;
(5) lebih tertarik pada urusan politik dan hal-hal yang bersifat mobilitas diri serta tidak peduli pada kepentingan dakwah dan menggerakkan Muhammadiyah;
            (6) kurang solid dan konsolidasi gerakan;
(7) kurang/lemah komitmen, pemahaman, dan pengkhidmatan terhadap misi serta kepentingan Persyarikatan.

Untuk menangani masalah tersebut maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

(a) menanamkan kembali kepada anggota mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam agar seluruh anggota Persyarikatan yakin dan paham betul akan kebenaran Islam yang menjadi misi utama Muhammadiyah, sehingga tidak ragu-ragu dan tidak memilih gerakan lain.
(b) memahami dan menghayati secara mendalam mengenai hakikat Muhammadiyah  sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid, sehingga mereka berada dalam posisi untuk menampilkan Islam yang bersifat pemurnian sekaligus pembaruann, tidak juga terjebak pada sekularisasi pemikiran Islam yang lepas dari sumbu dasar Islam.
(c) Menggerakkan Muhammadiyah dalam melaksanakan dakwah dan tajdid melalui usaha-usahanya secara ikhlas, sungguh-sungguh, gigih, dan berkelanjutan sehingga secara istiqamah dan militan menjadi kekuatan umat yang berjuang menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
(d) Menggalang ukhuwah dan soliditas internal gerakan sehingga menjadi kekuatan yang kokoh; tidak tercerai-berai, dan tidak berpaling ke gerakan lain apapun bentuknya apalagi gerakan politik kendati bersayap dakwah sebab Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah yang sudah teruji dan tidak ada kepentingan politik kekuasaan.
(e) Mengembangkan sistem gerakan melalui penguatan jama‘ah, jam‘iyah, dan imamah sehingga gerak Muhammadiyah berjalan secara terorganisasi dan kuat; memiliki disiplin organisasi yang tinggi, dan semuanya hanya bernaung dalam sistem Muhammadiyah secara utuh.
(f) Menyiapkan sumberdaya manusia dan kader yang unggul, militan, cerdas, dan siap membela organisasi dengan istiqamah dan rasa memiliki dan berkomitmen yang tinggi.
(g) Menata dan mengkonsolidasi kembali seluruh amal usaha sebagai alat/kepanjangan misi Persyarikatan sekaligus ajang kaderisasi Muhammadiyah, termasuk menyeleksi dan membina seluruh orang yang berkiprah di dalamnya, sehingga amal usaha itu benar-benar mengikatkan, memposisikan, dan memfungsikan diri sebagai milik Muhammadiyah, dan bukan milik mereka yang berada di amal usaha apalagi nilik organisasi lain,yang harus dikelola dengan sistem dan disiplin organisasi Muhammadiyah.
(h) bersikap tegas terhadap organisasi manapun yang masuk dan dapat mengganggu tatanan serta kelangsungan Muhammadiyah, lebih-lebih terhadap partai politik apapun termasuk partai politik yang mengemban misi dakwah sebagai mereka adalah organisasi lain yang berada di luar, bahwa semuanya harus dibingkai ukhuwah tentu saja tetapi harus bersikap timbal-balik dan saling mengormati.
(i) Melakukan langkah-langkah pembinaan anggota secara intensif dan sistematik dengan pendekatan-pendekatan klasik dan baru agar tumbuh sebagai anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyahh  yang istiqamah dan membela sepenuh hati misi serta kepentingan Muhammadiyah, lebih-lebih di saat kritis dan harus memilih.
(j) Mengembangkan usaha dan kemampuan-kemampuan kompetitif serta jaringan-jaringan kerjasama secara independen dengan pihak manapun sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan yang unggul dan dirasakan kehadirannya sebagaimana layaknya gerakan Islam yang terbesar di negeri ini.

            Apabila semua langkah-langkah itu dijalankan  maka muhammadiyah akan lebih cepat maju dan mudah dalam menjalankan gerakannya untuk mewujudkan masyarakat yang sebenar-benarnya.Gerakan dakwah muhammadiyah tidak bisa lepas dari berbagai bidang yang ada dalam muhammiyah, yang dimana di dalamnya semua itu saling berkaitan.Majunya berbagai bidang akan mendorong untuk mudahnya muhammadiyah dalam berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar.






Muhammadiyah dan politik
Berbicara tentang Muhammadiyah dan Politik, tidaklah dimaksudkan untuk membawa pemikiran kepada perwujudan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi politik, apalagi menjadi partai politik. Namun, sejauh yang bisa kita amati sepanjang sejarah peran serta Muhammadiyah dalam dinamika Bangsa Indonesia, adalah wajar apabila kita merenungkan kembali peran amar makruf nahi munkar yang selama ini menjadi trade mark Muhammadiyah, bukan hanya dalam dataran sosial kemasyarakatan,
tetapi juga dalam dataran sosial politik. Akhir-akhir ini banyak komentar yang menyatakan bahwa dengan masuknya Muhammadiyah dalam diskursus politik praktis, berarti telah meninggalkan khittahnya sebagai gerakan amar makruf nahi munkar. Betulkah demikian ? tulisan berikut ini mencoba melihat realitas hubungan Muhammadiyah dan politik, serta dampak logisnya dalam konteks amar makruf nahi munkar.
 Hubungan Muhammadiyah dan Parpol
       Untuk memahami bagaimana sebenarnya hubungan Muhammadiyah dan Partai Politik, kita tidak bisa hanya sekedar mengatakan bahwa Muhammmadiyah adalah sebuah ormas sosial keagamaan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan parpol. Hal tersebut merupakan statemen yang amat sederhana dan terlalu lugu. Untuk memahami bagaimana sebenarnya sikap Muhammadiyah mengenai hubungan dirinya dengan partai politik dan politik, kita perlu melakukan telaah historis-empiris sepanjang perjalanan organisasi ini sejak berdirinya tahun 1912 hingga sekarang. Dalam kurun waktu tersebut, setidak-tidaknya terdapat empat masa dengan situasi politik yang berbeda, yakni masa Demokrasi Liberal, masa Demokrasi Terpimpin, Masa Orde Baru, dan Masa Reformasi.
       Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959, hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama tersebut. Selama waktu tahun 1945 hingga 1959, kita melihat 50 % keanggotaan Masyumi adalah kader-kader Muhammadiyah. Dan selama waktu itu pula, kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan di kabinet Hatta, Sahrir, Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin, Burhanuddin Harahap, Ali I, Juanda, hingga Ali II. Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memang sedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal serupa terulang pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 1957, dengan rekomendasi yang lebih jelas, agar Muhammadiyah keluar dari anggota istimewa Masyumi. Namun melaksanakan keputusan ini tidaklah mudah di lapangan. Pada sidang Tanwir tahun 1958, persoalan ini mengambang kembali, dan justru Sidang menyerahkan kepada PP Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada Sidang Tanwir tahun 1959 di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakan voting. Hasilnya 13 orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari keanggotaan Masyumi, 18 menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini baru tuntas ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi.
      Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak peristiwa yang bisa kita telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasi yang kurang kondusif. Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS, hanya merupakan boneka yang dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari presiden. Dari sisi politik, Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim idealis tidak banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini. Pada paruh pertama masa Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan masyarakat (dimobilisasi untuk) mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya berbagai gelar untuk Soekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham Soekarnoisme. Hingga kini, sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam berbagai atribut partai Politik beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah, Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyak melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada paruh kedua masa Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana hujatan pada sistem dan kepemimpinan nasional semakin seru, yang berujung pada lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI.
     Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan yang mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada penyederhanaan organisasi sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya, langkah ini banyak berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam proses pembangunan. Sementara di sisi lain, menguatnya institusi pemerintah yang diperkuat dengan (Partai) Golkar. Secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak memiliki hubungan apapun dengan partai politik pada masa ini. Namun dampak dari situasi politik ini bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap ummat Islam umumnya) adalah tiadanya ikatan emosional yang kuat dengan partai politik manapun. Dan inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dalam mana Muhammadiyah lebih menekankan partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan wacana intelektual, misalnya tentang konsep kenegaraan, konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi dan seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik maupun penelitian dan penulisan baik yang diselenggarakan oleh PTM maupun Persyarikatan. Sementara itu beberapa kader Muhammadiyah yang memiliki bakat dan kesempatan untuk berpolitik praktis, dipersilahkan untuk bergabung ke PPP, Golkar, maupun PDI. Situasi inilah yang kemudian melahirkan komitemen Muhammadiyah sebagai tenda besar kulturalyang diharapkan tetap menjaga jarak dengan semua partai politik sekaligus melindungi para politisinya yang ada di mana-mana. Memang situasi keterkungkungan politik ini ada juga dampaknya secara organisatoris terhadap Muhammadiyah (dan juga terhadap ormas lainnya), ketika diterapkan UU Keormasan nomor 8 tahun 1985, terutama masalah asas tunggal Pancasila. Pada Anggaran Dasar (kesebelas) tahun 1985 melalui Muktamar ke 41 di Surakarta. Pada Bab I Pasal 1 tentang Nama, Identitas dan Kedudukan, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini (Muhammadiyah) beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara itu pada Bab II Pasal 2 tentang Asas, dinyatakan bahwa “Persyarikatan ini berasas Pancasila”. Kultur politik Orba Baru ini rupanya sebagian masih tersisa sekarang. Arus besar Reformasi yang terjadi sejak 1997, sebenarnya tidak lepas dari peran Muhammadiyah.
      Pada era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian yang signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk mengembalikan potensi politik bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi pematangan dan implementasi gerakanamar makruf nahi munkar dalam aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa Orde Baru. Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar. Namun rupanya keputusan Sidang Tanwir tersebut amat dewasa, dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Warga Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai yang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol manapun dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini, yang kita lihat adalah formulasi peran politik Muhammadiyah melalui kader-kadernya dalam apa yang disebut-sebut sebagai high politik tadi. Beberapa isyu politik penting berhasil diangkat, seperti demokratisasi, pemberantasan KKN, dan Keadilan. Seluruh isyu tersebut memang merupakan mainstream Reformasi dan sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat kita lihat betapa perwujudan kepemimpinan nasional dengan lahirnya poros tengah dan mengusung Gus Dur ke Istana (melalui Pemilu 1999), meskipun pada akhirnya langkah ini harus segera dikoreksi pada pertengahan tahun 2002. Pada perjalanan pemerintahan Megawati, akumulasi ketidakpuasan terhadap perjalanan reformasi ini semakin menguat. Krena itu wajar bila pada momentum Pemilu 2004, Muhammadiyah (dan seluruh komponen reformasi) berharap terjadi perubahan yang signifikan.

Kontekstualisasi amar makruf nahi munkar

Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah menjadi “khittah” Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Padahal, apabila kita mau merenungkan, Rasulullah pernah menyatakan bahwa apabila engkau melihat suatu kemungkaran, maka hadapilah dengan tanganmu, dan apabila engkau tidak bisa, maka hadapilah dengan lidahmu, dan apabila tidak bisa, maka hadapilah dengan nuranimu, akan tetapi menghadapi kemungkaran dengan nurani adalah selemah-lemahnya Iman. Sepanjang masa orde baru, jargon amar makruf nahi munkar tersebut oleh para petinggi Muhammadiyah sering hanya dibatasi pada level dakwah dan pendidikan. Untuk ini terdapat beberapa alasan. Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Pendidikan masih pada tahapan ekspansi secara kuantitas, sehingga belum menyentuh aspek politik. Kedua, Iklim politik masa orba yang kurang kondusif untuk mengemukakan gagasan-gagasan langsung yang berkaitan dengan keputusan-keputusan politik apalagi misalnya tentang isu suksesi. Ketiga, terkait dengan yang kedua, partai politik tidak sepenuhnya dapat merepresentasikan gagasan rakyat. Pada masa pascareformasi sekarang ini, tidak ada salahnya, bahkan harus, bagi muhammadiyah untuk melakukan ijtihad politik, dengan mempertegas komitmen amar makruf nahi munkar pada level yang lebih tinggi, yakni kepemimpinan nasional. Mengapa ?
Terdapat beberapa argumen yang patut kita perhatikan. Pertama, menyimak hadits Nabi di atas, jelas menunjukkan suatu keharusan untuk menempatkan amar makruf dengan tangan (kekuasaan) menjadi prioritas utama. Sekarang ini reformasi telah digulirkan, di antara jargonnya adalah pemberantasan KKN. Dalam model kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik, hanya tauladan pucuk pimpinan nasional yang bisa berpengaruh. Ibaratnya, bila sapu yang digunakan untuk membersihkan KKN itu bersih, baru KKN bisa dihilangkan, akan tetapi jika sapunya kotor, mana mungkin bisa membersihkan. Bagi Muhammadiyah, maka tidak ada jalan lain kecuali merebut kepemimpinan nasional, bila ingin menyelamatkan reformasi. Kedua, Melihat perkembangan hasil reformasi selama lima tahun terakhir, menunjukkan hal yang belum menggembirakan. Dalam aspek ekonomi, tidak suatu perbaikan yang signifikan. Hal ini tentunya erta terkait dengan visi dan komitmen presiden sebagai panutan rakyat. Dengan demikian misi amak makruf nahi munkar tidaklah menjadi hilang, malah diberi pemaknaan sesuai konteksnya.
Dakwah Kultural Vs Politik Praktis ?
Beberapa kalangan, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) beberapa waktu ini sibuk melakukan kritik terrhadap keputusan PP Muhammadiyah yang mendukung pencapresan Amien Rais. Di antaranya adalah, mempertanyakan misi dakwah kultural yang sudah diputuskan dalam sidang Tanwir di Bali beberapa tahun lalu, mengapa harus diganti dengan orientasi politik praktis sesaat ? Juga ada yang mempermasalahkan hubungan Muhammadiyah-PAN, dengan menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan mengajukan capres dan cawapres adalah partai politik, bukan ormas seperti Muhammadiyah. Mengenai pertentangan atau dikotomi dakwah kultural Vs Politik praktis, dapat dijelaskan sebagai berikut.  Ide dakwah kultural sesungguhnya adalah suatu model dkwah yang dikembangkan Muhammadiyah melalui aspek budaya, seperti budaya bersih, budaya disiplin, budaya keadilan, budaya hemat, budaya jujur, budaya rasional, budaya profesional, dan seterusnya. Dalam konteks pembenahan Indonesia era reformasi ini, maka tentu saja pemberantasan budaya KKN menjadi agenda penting bagi bangsa Indonesia, juga Muhammadiyah. Inilah dakwah kultural, yang dalam aspek politiknya mengandung implikasi ketauladanan, pergerakan, dan mobililasi yang berujung pada kepemimpinan bangsa. Dalam konteks ini, maka sesungguhnya tidak ada dikotomi dakwah kultural Vs politik praktis, namun yang ada adalah strategi dakwah kultural dengan pilihan pada sosok kepemimpinan yang bakal memberikan tauladan.

Beberapa Persoalan Penting

Untuk lebih menghayati bagaimana variabel-variabel penting yang perlu mendapatkan perhatian dan sekaligus pemikiran kita, setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi bidang garap kita dalam waktu dekat ini.
1.       Membangun Visi Indonesia Baru
Kepentingan politik Muhammadiyah dalam konteks membangun masa depan Indonesia tidak lain adalah dengan memulai tahapan yang telah menjadi cirikhasnya, yakni meneruskan reformasi yang masih belum tuntas. Apa saja itu, dan apa relevansinya dengan gerakan Muhammadiyah ? Membuka wacana hubungan gerakan Muhammadiyah dan Reformasi tidaklah mudah, terutama bagi orang yang tidak mengetahui asal usul gerakan ini. Terdapat beberapa karakteristik yang menunjukkan persamaan antara gerakan Muhammadiyah dengan reformasi. Pertama adalah sifat pemberontakannya terhadap tradisi dan kemapanan. Muhammadiyah lahir tahun 1912 dengan maksud memberikan pengajaran Igama (baca: agama) terutama bagi para pelajar dan di lembaga persekolahan yang waktu itu merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh ummat Islam. Penyelenggarakan pengajian dan pendidikan agama semacam itu adalah di luar kebiasaan. Demikian juga reformasi 98, menunjukkan pemberontakannya terhadap kemapanan orde baru yang telah berlangsung 32 tahun. Isyu sentral yang terkristalisasi dalam gerakan reformasi 98 ini antara lain soal demokratisasi dan pemberantasan KKN. Isyu demokratisasi antara lain soal suksesi kepemimpinan, pemilihan presiden secara langsung dan disentralisasi. Dalam konteks ini maka sebetulnya kepentingan Muhammadiyah dalam melanjutkan reformasi tidaklah perlu dicurigai, karena memang ada kesamaan karakter.
Apa yang sebenarnya diinginkan Muhammadiyah dalam melanjutkan proses reformasi di tanah air ?
Apakah benar bahwa Muhammadiyah telah bergeser dari orientasi dakwah dan pendidikan yang substantif ke arah pragmatis ? Kita berikan beberapa bukti di antaranya : Pertama, Setelah Muhammadiyah menggulirkan isyu Negara Federasi yang kemudian menjadi otonomi daerah, justru yang menikmati adalah penguasa-penguasa daerah, sementara muhammadiyah tidak mendapatkan keuntungan apapun. Pada saat mengegolkan UU Sisdiknas, Muhammadiyah menjadi pelopor, namun setelah UU itu jadi, banyak kalangan yang memanfaatkannya dengan pendepatan kepada pemerintah tentang dana 20 % untuk pendidikan. Demikian juga sekarang dengan pemilihan presiden secara langsung, maka yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki anggota yang secara kuantitas memenuhi, sementara Muhammadiyah justru pada kualitasnya. Dengan demikian tidak benar bahwa gerakan politik Muhammadiyah akhir-akhir ini hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi justru untuk kepentingan bangsa jangka panjang.
2.       Visi Pemimpin bangsa menurut Muhamma- diyah
       Bila kita lihat hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah seperti yang nampak dalam hasil Sidang Pleno diperluas PP Muhammadiyah tanggal 10-12 Pebruari 2004, pemimpin bangsa yang diharapkan adalah seorang dengan ciri-ciri :
a.  Reformis
b.  Bebas dari KKN
c.   Mampu menyelenggarakan tata pemerintahan dengan baik
d.  Memiliki visi kebangsaan yang luas
e.   Tegas dan berwibawa dalam membawa bangsa ke tengah pergaulan internasional
f.   Mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat
g.   Menunjukkan kehidupan bangsa menuju ke masa depan yang baik
Bila pada Pilihan Presiden tanggal 5 Juli 2004 Muhammadiyah menentukan sikap untuk memunculkan kader terbaiknya Prof. Dr. H. Amien Rais sebagai calon Presiden, maka ada beberapa catatan yang perlu kita simak, yakni :
a. Bahwa langkah tersebut diambil tentunya dalam rangka kerja besar Muhammadiyah berupa amar makruf nahi munkar. Dengan demikian alasan paling tepat untuk memunculkannya adalah untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa ini. Seorang Amien Rais yang telah berhasil mempelopori gerakan reformasi sejak 1997, sudah sepantasnya diberi kesempatan untuk melanjutkan langkah-langkah reformasi yang sudah mengalami kemandegan selama empat tahun terakhir.
b. Bilamana dalam pemilihan presiden nanti Amien Rais berhasil menduduki sebagai orang nomor satu dalam republik ini, Muhammadiyah tidak perlu terlalu berbangga, namun justru tetap mendukung langkah-langkah yang positif, dan menjadi yang pertama untuk mengingatkan bila terjadi penyimpangan dalam pemerintahan. Jangan sampai terulang pengalaman seperti pendukung Gus Dur yang membabi buta.
c.  Bila tidak berhasil untuk menduduki jabatan Presiden, Muhammadiyah tidak perlu berkecil hati. Apa yang sudah diupayakan hanyalah sebuah usaha dengan niat yang baik. Muhammadiyah harus tetap konsisten sebagai gerakan amar makruf nahi munkar, meski tidak bisa dengan tangan (kekuasaan), masih ada jalan yang lain (dengan lisan atau wacana).
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar