Muhammadiyah
dan Pendidikan
A. Awal munculnya lembaga Pendidikan di
Muhammadiyah
Sebagai sebuah gerakan Islam yang lahir pada tahun 1912
Masehi dan kini hampir memasuki usia 100 tahun, telah banyak yang dilakukan
oleh Muhammadiyah bagi masyarakat dan bangsa Indonesia secara luas. Sehingga
harus diakui bahwa Muhammadiyah memiliki kontribusi dan perhatian yang cukup
besar dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam
rangka mencapai tujuan Muhammadiyah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,
Persyarikatan Muhammadiyah telah menempuh berbagai usaha meliputi bidang
dakwah, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya, yang secara
operasional dilaksanakan melalui berbagai institusi organisasi seperti majelis,
badan, dan amal usaha yang didirikannya.
Lahirnya pendidikan Muhammadiyah yang modern tidak lepas
dari sejarah pada Dasawarsa terakhir abad 19 Pemerintah Belanda memulai system
pendidikan liberal di Indonesia. Pendidikan ini diperuntukkan bagi sekelompok
kecil orang Indonesia, sehingga tahun 1870 mulai tersebar jenis pendidikan
rakyat, yang berarti juga diperuntukkan bagi umat Islam Indonesia. Perluasan
pendidikan ke pedesaan yang diperuntukkan seluruh lapisan masyarakat, baru
dilaksanakan pada awal abad ke 20 dengan apa yang dinamakan ethise politiek,
sebagai akibat dari desakan kaum ethis yang berorientasi humanistic agar
pemerintah colonial juga mulai memperhatikan rakyat pribumi di negeri
jajahannya (steenbrink 1986 : 23; Kartodirjo, 1999:30)
Pada masa pemerintahnya (Belanda) terdapat model 4 model
perskolahan belanda yaitu :
a. Sekolah Eropa yang menampung anak
birokrat Hindia Belanda. Dan kurikulumnya sama dengan negeri Belanda
b. Sekolah Barat Sekolah yang menampung
anak-anak yang berwarga Negara Belanda
c. Sekolah Vernakuler Sekolah yang di
desain oleh belanda demi kepentingan mereka sendiri
d. Sekolah Pribumi, system sekolah yang
ada di luar kendali Belandasekolah-sekolah yang di dirikanoleh lembaga agama
Sistem sekolah ini telah melahirkn jurang pemisah yangmakin
melebar antara Belanda dengan penduduk pribumi. Di samping itu juga Pendidikan
Islam yang berbasis di Pesantren tidak saja kontras dengan pendidikan colonial
tetapi juga kontras dengan system didaktik-pedagogisnya. Pendidikan Islam
tertinggal dan tidak dapat memberikan perspektif –perspektif k depan.
Menghadapi realitas sistem pendidikan Barat dan Islam yang
dualistic ini, ahmad Dahalan mencoba mengatasi dengan cara perpaduan model
sebagai jalan engah dari kebutuhan sistem yang ada. Upaya kompromi ini diawali
dengan mengidentifikasi masalah yang di hadapi umat Islam pada wakti itu dan
dipandang perlu segera mendapatkan jawaban dalam bidang pendidikan.
Untuk mensosialisasikan gagasan pembaruannya dalam bidang
pendidikan, Ahmad Dahlan mencoba memulai dengan membimbing berbeapa orang
keluarge dekat serta beberapa sahabatnya. Tempat yang pertama kali digunakan
untuk menyampaikan gagasan-gagasannya adalah pengajian-pengajian dan
tempat-tempat lain di mana ia memberikan pelajaran. Setelah upaya dalam
menyampaikan benih-benih pembaruan diduga membuahkan hasil sehingga dibuat
wadah untuk menampung gagasan tersebutyaitu “Pergerakan Muhammadiyah”.
Dari sejarah ini dapat dipahami bahwa : Pertama, Pendidikan
Muhammadiyah lahir adalah dalam keadaan suasana pendidikan umat yang memperihatinkan,
terutama pendangkalan nilai-nilai Islam dalam suatu proses penjajahan yang
mengarah ke sekluerisasi. Kedua, cikal bakal Pendidikan Muahmadiyah Pendidikan
Muhammadiyah adalah pengajian-pengajian dengan suasanan kesederhanaan yang
langsung dibimbing Ahmad Dahlan. Ketiga, untuk mewujudkan cita-cita Pembaruan
dalam pendidikan ini, Ahmad Dahlan dengan kesungguhannya dan secara terus
menrus menanamkam benih-benih pembaruan baik melalui sekolah di mana ia
mengajar maupun ceramah-ceramahnya. Pada proses selanjutnya, pendidikan
Muhammadiyah ini berkembang dengan pesat, sekaligus mempunyai spesifik, yaitu
sistem pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan
agama. Pendidikan Muhammadiyah tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika masyarakat[1][1].
Pesatnya perkembangan Pendidikan Muhammaadiyah ini juga
dibuktikan dengan beberapa sekolah yang tertua yaitu :
a. Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta
b. Muallimin Muhammadiyah, Solo,
Jakarta.
c. Muallimat Muhammadiyah, Yogyakarta
d. Zu’ama/Za’imat, Yogyakarta
e. Kulliyah Mubalighin/Mubalighot,
Sumatera Tengah
f.
Tablighscool, Yogyakarta
g.
H.I.K Muhammadiyah Yogyakarta.
h.
Wustho Muallimin[2][2]
B.
Cara penyelenggaraan Pendidikan Muhammadiyah
Sejarah perjalanan dan kiprah tokoh pendiri Muhammadiyah
dalam membangun dan mengelolah Pendidikan Muhammadiyah pada masa awal
berdasarkan hal-hal berikut:
Pertama, dari sudut pandang sejarah, dapat
diperhatikan bagaimana generasai awal Muhammadiyah membangun Pendidikannya
dengan mekanisme bottom up. Aspek sosiologis agaknya jadi pertimbangan
penting dalam desain pendidikan Muhammadiyah. Semua amal usaha (pendidikan)
Muhammadiyah didirikan atas prakarsa umat dari bawah. Tidak satupun institusi
Pendidikan Muhammadiyah yang dibangun berdasarkan surat keputusan (SK) atau
instruksi dari kantor pimpinan pusat (Suyanto, 2003:93). Dengan kata lain by
birth, demokratisasi sistem pendidikan dalam tahapan tertentu sudah
terwujud, karena pendidikan Muhammadiyah lahir dari dan untuk “umat”
Muhammadiyah.
Kedua, sistem pendidikan yang berbeda dari umumnya
sistem pendidikan yang ada di masyarakat sehingga menjadi pendidikan
alternative. Desain awal pendidikan Muhammadiyah berangkat dari motivasi
teologis yang kuat; yaitu manusia akan mencapai derajat keimanan dan ketaqwaan
yang sempurna jika memiliki kedalaman ilmu pengetahuan (Mu’ti, 2003 : 103).
Inilah yang kemudian menjadi garis pembeda antara out put pendidikan
Muhammadiyah dengan out put pendidikan konvesional barat dan pendidikan
tradisonal. Eksistensi pendidikan Muhamadiyah pada waktu itu memiliki nilai
tawar yang tinggi karena mampu melhirkan generasi yang “lebih sempurna”.
Ketiga, oreintasi ke depan dalam penyelenggaraan
pendidikan Muhammadiyh berorientasi mempersiapkan lulusannya untuk memasuki
Indonesia baru yang merdeka dengan segala modernitasnya. Dengan perkataan lain,
Pendidikan Muhammadiyah harus menyiapkan anak didiknya agar tetap survive di
masa yang akan datang. Karena masa yang akan datang tentu akan berbeda dengan
masa yang sekarang.
Keempat, pengorbanan baik pikiran, tenaga maupun
harta. Pada umumnya pada perintisan pendidikan Muhammadiyah adalah orang yang
sadar akan panggilan perjuangan. Mereka berkorban untuk kepentingan
pengembangan pendidikan, amal usaha Muhamadiyah yang diharapkan menjadi
penyangga masa depan gerakan. Pengemabngan Pendidikan Muhammadiyah mesti
mempertimbangkan aspek nilai dan aspek spirit perjuangan tokoh-tokoh terdahulu,
mewarisi keteladanan mereka dengan tetap mempertimbangkan propesionalisme dalam
pengelolaannya, sejalan dengan tuntutan zaman[3][3].
Pada intinya,
penyelenggaraan pendidikannya dilakukan oleh Majelis Penyelenggara, dan
pengelolaan teknisnya dilaksanakan oleh kepala sekolah masing-masing,” ucap
Abdul Mu’ti.
Lebih jauh Abdul Mu’ti mengungkap, “Dalam pengelolaan
lembaga pendidikan dan sekolah di Muhammadiyah, dijalankan konsep sentralistik
konsultatif.” Dalam pengertian bahwa
pengembangannya tak bisa dilakukan secara terpisah-pisah tanpa melibatkan
pimpinan persyarikatan. Hingga dalam proses seleksi dan pengangkatan guru, tak
sepenuhnya dilakukan oleh kepala sekolah, melainkan melibatkan Majelis
Dikdasmen dan Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah[4][4].
C. Tujuan pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah pada permulaan berdirnya belum merumuskan
secara jelas tentang tujuan pendidikannya. Hal ini tidak berati Pendidikan
Muhammadiyah yang didirikan tanpa tujuan. Meski belum drimuskan secara tegas,
pendidikan Muhammadiyah sejak permulaan berdirinya sudah memiliki tujuan. Dilihat
dari sistempendidikan yang dikembangkan ada pendapat vahwa tujuan pendidikan
Muhammadiyah sejak didirikan adalah “Membentuk Alim Intelektual”, yaitu seorang
muslim yang seimbang ilman dan ilmunya, ilmu agama dan ilmu umum, orang
yangkuat rohani dan jasmaninya. Tujan Pendidikan Muhammadiyah ini dirumuskan
dalam pernyataan yang sering disampaikan Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya
dalam pengajian yang dipimpinnya. Dalam bahasa Jawa pernyataaan itu adalah: “dadiyo
kyai sing kemajuan, lan ojo kesel-kesl anggonmu nyambut gawe kanggo
Muhammadiyah” (jadilah ulama yang modern danjangan merasa lelah bekerja
untuk Muhammadiyah)
Sedangkan tujuan pendidikan Muhammadiyah yang sampai saat
ini menjadi rujukan bagi perguruan Muhammadiyah adalah bagaimana tertuang dalam
Qoidah Pendidikan Dasar dan Menegah Bab I pasal 3 sebagai berikut :
“Pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyah bertujuan :
“membentuk manusia muslim yang beriman, bertaqw berakhlaq mulia, cakap percaya
dri, memajukan dan memperkembangkan ilmu pengetahuan dan ketereampilan dan
beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil danmakmur yang diridhai oleh
Allah SWT .
Dalam tujuan ini terdapat (terkandung) nilai-nilai
fundamental yang secara implicit jelas merujuk pada nilai-nilai Islam yang
bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Pada rumusan ini pertama diwarnai semangat
juang untuk menumbangkan kolonialisme. Pada rumusan kedua orientasinya lebih
mnekankan upaya pengisian atau berpean serta dalam pembangunan bangsa
pascakemerdekaan. Pada rumusan ketiga lebih kongkret dan realities. Namun
secara garis besar ketiga rumusan di ats dapat simpulkan bahwa tujuan
pendidikan Muhammadiyah ialah membentuk muslim yang cakap, berakhlaq mulia,
percaya kepada diri sendir dan berguna bagi masyarakat. Secara implisist
berarti tidak hanya ingin melahirkan kader-kader Muhammadiyah, tetapi juga
putra-putri bangsa yang Islami, berilmu pengetahuan dan mempunyai wawasan ke
depan (visioner) sebagai upaya menuju pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya, lahir dan batin seperti yang dicita-citakan seluruh bangsa Indonesia[5][5].
Tujan Pendidikan Muhammadiyah di telah dirumuskan dan telah
di sahkan oleh Majlis Tanwir yang intinya Pendidikan Muhammadiyah ialah
membentuk manusia muslim, berakhlaq mulia, cakap, percaya kepada diri sendiri
dan berguna untuk masayarakat umum. Dari tujuannya saja sudah nampak adanya
kemiripan antara tujuan Pendidikan Muhammadiyah dengan tujuan pendidikan
Republik Indonesia dan kedua tujuan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan
pendidikan R.I[6][6].
D. Kontribusi Muhammadiyah dalam
Pendidikan
Muhammadiyah bisa dibilang sebagai pelopor Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia. Semua
hali jerih payah K.H ahmad dahlan dapat dirasakan manfaatnya hingga saat ini.
Muhamadiyah merupakan organisasi di luar pemerintahan yang meiliki lembaga
pendidikan dan pengajaran terbesar di Indonesia[7][7]
Pemabaruan pendidikan meliputi dua segi. Yaitu segi-cita-cit
dan teknik pengajaran. Dari segi cita-cita yang dimaksud K.H ahmad Dahlan ialah
ingin membentuk manusia muslim yang baik budi pekerti, alim dalam agama, luas
dalam pandangan dan faham masalah keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuanmasyarakat.
Adapun teknik, lebih banyak berhubungan dengan cara-cara
penyelenggaraan pendidikan. Dengan mengambil unsur-unsurnya dari sistem
pendidikan Barat dan Sistem Pendidikan tradsional, Muhammadiyah berhasil
membangun sistem pendidikan sendiri. Seperti sekolah model barat , tetapi
dimasukkan ajaran agamadi dalamnya, sekolah agama dengan menyertakan pelajaran
secular. Bermacam-macam sekolah kejuruan dan lain-lain. Sedangkan cara
penyelenggaraannya, proses belajar mengajar itu tidak lagi dilaksanakan di
masjid atau langgar, tetapi digedung yang khusus, yang dilengkapi oleh meja,
kursi dan papan tulis, tidak lagi duduk di lantai[8][8].
Wirjosukarto (1965) dalam bukunya “Pembaruan Pendidikan dan
Pengajaran oleh Pergerakan Muhammadiyah menjelaskan bahwa teknik pengarajan
Muhammadiyah adalah sebagai berikut :
a. Cara belajar dan mengajar dalam
lembaga Pendidikan Muhammadiyah dibandingkan pendidikan tradisonal lebih modern
dan system klasikal seperti yang dilakukan oleh Pendidikan Barat
b. Bahan Pelajaran. Di lembaga
Pendidikan Tradisonal hanya mengajarakan ajaran Agama saja. Sedangkan di
Muhammadiyah di ajarkan ilmu umum dan agama.
c. Rencana Pelajaran. Pendidikan
Muhammadiyah sudah mengatur kurikulum dengan baiak, sehingga efesiensi pembelajaran
bias terjamin dengan baik
d. Pengasuh dan Guru. Di lembaga
pendidikan Muhammadiyah terdapat guru agama dan guru umum dibandingkan
denganlembaga Tradisonal hanya memiliki guru agama saja yagn berpengalaman
dibidangnya.
e. Hubungan guru dan murid terlihat
lebih akarabdan Susana yangmenyenangkan dibandingkan dengan lembaga pendidikan
tradisional yang lebih bersifat otoriter[9][9].
Selain pembaruan dalam lembaga pendidikan formal,
Muhammadiyah telah memperbaharui bentuk pendidikan tradional non formal yaitu,
pengajaran. Semula pengajian dilakukan di mana orang tua atau guru prvat
mengajara naka kecil membaca al-Qur’an dan beribadah. Oleh Muhammadiyah
diperluas, dan pengajian disistematiskan ke dalam bentuk, juga isi pengajian
diarah pada masalah-masalah kseharikehidupan sehari-hari umat Islam.
Begitu pula Muhamadiyah telah berhasil mewujudkan
bidang-bidang bimbingan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang
diperlukan dan mungkin bersifat pribadi. Seperti mempelopori mendirikan Badan
Penyuluhan Perkawinan di kota-kota besar.
Dengan penyelenggaraan pegajian dan nasihat yang bersifat
pribadi tersebut, dapat ditunjukkan bahawa Islam menyangkut seluruh aspek
kehidupan mmanusia.
Berdasarkan data terbaru (Profil Muhammadiyah) amal usaha
Muhammadiyah si bidang pendidikan berjumlah 5.797 buah, merupakan angka yang
cukup fantastis untuk sebuah lembaga pendidikan yang dinaungi dalam satu payung
organisasi dengan rincian ; 1132 Sekolah Dasar ; 1769 Madrasah Ibtidaiyah ;
1184 Sekolah Menengah Pertama; 534 Madrasah Tsanawiyah ; 511 Sekolah Menengah
Atas ; 263 Sekolah Menengah Kejuruan ; 172 Madrasah Aliyah ; 67 Pondok
Pesantren ; 55 Akademi ; 4 Politeknik ; 70 Sekolah Tinggi dan 36 Universitas
yang tersebar di seluruh Indonesia.
Total jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sebanyak itu
merupakan bilangan yang cukup fantastis bagi sebuah organisasi sosial keagamaan
dimanapun. Apalagi keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan
pengejawantahan dari model pemahaman keagamaan (keIslaman) di Muhammadiyah. Inilah
yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan, pemahaman atau idiologi apa yang
diterapkan oleh Muhammadiyah dalam mengurusi lembaga pendidikan yang sebesar
itu. Mungkin langsung timbul sebuah jawaban dari pertanyaan tersebut tentu saja
idiologi Islam yang di gunakan karena Muhammadiyah berasaskan Islam (AD/ART
Muhammadiyah)[10][10].
Di samping itu juga dari berbagai Universitas dan sekolah
tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia tersebut, setidaknya saat ini tercatat
lebih 300 ribu orang merupakan mahasiswa universitas Muhammadiyah, dan jumlah
ini merupakan 10 persen dari jumlah total keseluruhan Mahasiswa Indonesia. “Ini
artinya, Perguruan Tinggi Muhammadiyah sudah dipercaya oleh masyarakat luas dan
tentunya dinilai berkualitas,” katanya.
Bahkan menurut Khairul saat ini ada lima Universitas
Muhammadiyah di Indonesia yang jumlah mahasiswanya di atas 10 ribu orang, dan
untuk Sumatera terdapat di Sumatera Utara dan Sumatera Barat dengan jumlah
mahasiswa masing-masing 12 ribu dan 10 ribu orang. Sementara untuk pulau jawa
terdapat di universitas Muhammadiyah Jogjakarta dan lainnya.
Kharul menambahkan, meski Muhammadiyah oraganisasi Islam,
Universitas Muhammadiyah di Indonesia ini tidak hanya menerima orang-orang yang
beragama Islam saja, melainkan juga dari Agama lain. “Sebagai contoh di
Universitas Muhamamadiyah Kupang, ini jumlah mahasiswa non muslim mencapai 75
persen lebih,” ujarnya[11][11].
Dalam bidang
kesehatan, hingga tahun 2000 Muhammadiyah memiliki 30 Rumah Sakit Umum, 13
rumah Sakit Bersalin, 80 Rumah Bersalin, 35 Balai Kesehatan Ibu dan Anak, 63
Balai Pengobatan, 20 Poliklinik, Balkesmas, dan layanan kesehatan lain. Lalu,
dalam bidang kesejahteraan sosial, hingga tahun 2000 Muhammadiyah telah
memiliki 228 panti asuhan yatim, 18 panti jompo, 22 Bakesos, 161 Santunan
keluarga, 5 panti wreda manula, 13 santunan wreda/manula, 1 panti cacat netra,
38 santunan kematian, serta 15 BPKM. Dalam bidang ekonomi, hingga tahun 2000
Muhammadiyah memiliki 5 Bank Perkreditan Rakyat
|
.Muhammadiyah dalam kehidupan ekonomi masyarakat
Kegiatan ekonomi untuk memperkuat
finansial bagi sebuah organisasi, seperti Muhammadiyah, pada hakikatnya merupakan
bagian terpenting untuk memperlancar gerakan Muhammadiyah dalam mencapai
tujuannya. Di samping itu, gerakan ekonomi persyarikatan Muhammadiyah juga akan
berdampak pada pemberdayaan ekonomi warganya, dengan upaya menciptakan lapangan
kerja dan mengatasi problem pengangguran yang semakin besar, dan angka
kemiskinan yang makin membengkak yang dapat mengancam eksitensi iman.
Progam pembinaan ekonomi umat
merupakan kepedulian sejak lama, karena memang konsisten Muhammadiyah sejak
dahulu wirausahawan reformis malah sejak lama merupakan perintis perdagangan
dan industri di kalangan pribumi.Hal ini dilakukan dengan penyusunan sebuah
progam yang didasarkan pada konsep misi dan visi tertentu. Pada dasarnya,
Majlis Pembina Ekonomi membina ekonomi umat melalui tiga jalur, yaitu:
1.Mengembangkan Badan Usaha Milik
Muhammadiyah yang mempresentasikan kekuatan ekonomi organisasi Muhammadiyah.
2.Mengembangkan wadah koperasi bagi
anggota Muhammadiyah.
3.Memberdayakan anggota Muhammadiyah
di bidang ekonomi dengan mengembangkan usaha-usaha milik anggota Muhammadiyah.
Dengan mengembangkan ekonomi itu,
Muhammadiyah telah memiliki aset atau sumberdaya yang bisa dijadikan modal.
Aset pertama adalah sumber daya manusia, yaitu anggota Muhammadiyah sendiri,
baik sebagai produsen, Kedua, kelembagaan amal usaha yang telah didirikan,
yaitu berupa sekolah, universitas, lembaga latihan, poliklinik, rumah sakit dan
panti asuhan yatim piatu. Ketiga, organisasi Muhammadiyah itu sendiri sejak
dari pusat, wilayah, daerah, cabang dan ranting.
Dapat disimpulkan bahwa, gerakan
ekonomi Muhammadiyah bisa disajikan antara lain dengan:
1.Mendirikan koperasi di berbagai
jajaran jenis koperasi sebagai sarana untuk melakukan perkuatan ekonomi ummat.
2.Mendirikan Badan Usaha Milik
Muhammadiyah (BUMM) dalam berbagai bidang jasa, perdagangan, pariwisata,
perkebunan, perikanan dan lain-lain.
3.Lembaga keuangan untuk mendukung
usaha-usaha ummat yaitu Baitul Mal wa Tanwil (BMT), BPR Syariah,koperasi
dan lain-lain.
4.Sharing dalam berbagai perusahaan
yang bonafit dan kompetitif.
5.Membangun jaringan informasi
bisnis, seperti memberikan berbagai penjelasan informasi kepada warga
Muhammadiyah tentang bagaimana bisnis obat, bahan tekstil, bahan kimia, rumah makan
dan lain-lain. Informasi ini juga meliputi bagaimana pandangan melakukan
kegiatan produksi, pemasaran jaringannya, tata niaganya dan lain-lain.
6.Membangun jaringan kerja sama
bisnis dengan semua pengusaha dan koperasi Muhammadiyah untuk saling membantu
baik dari segi informasi, kiat bisnis maupun pendanaan.
B. Visi dan misi muhammadiyah di bidang
Ekonomi dan ZIS
Rencana strategis bidang Wakaf, ZIS
(Zakat, Infaq, dan Shadaqah), dan Pemberdayaan Ekonom adalah: Terciptanya
kehidupan sosial ekonomi umat yang berkualitas sebagai benteng atas problem
kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan pada masyarakat bawah melalui
berbagai program yang dikembangkan Muhammadiyah.
Berdasarkan garis besar program,
Majelis ini mempunyai tugas pokok antara lain:
1)
Peningkatan pengelolaan ZIS (Zakat, Infaq, dan Shadaqah) dan akuntabilitasnya
sehingga menjadi penyangga kekuatan gerakan pemberdayaan umat.
2)
Peningkatan mutu pengelolaan wakaf dan perkuasan gerakan sertifikasi
tanah-tanah wakaf di lingkungan Persyarikatan.
3)
Pengembangan bentuk wakaf dalam bentuk wakaf tunai dan wakaf produktif.
Visi
Berkembangnya kapasitas dan bangkitnya kembali etos Muhammadiyah untuk
meningkatkan pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan umat.
Misi
1. Mengupayakan pembangunan ekonomi
rakyat Indonesia khususnya keluarga besar Muhammadiyah.
2. Mengurangi problem kemiskinan,
keterbelakangan dan kebodohan pada masyarakat melalui peningkatankehidupan
sosial ekonomi ummat yang berkualitas.
3. Menjadi pelopor, motivator dan atau katalisator
pembaharuan/perubahan pembangunan ekonomi rakyat Indonesia berdasarkan
nilai-nilai Islam.
C.Program-program untuk mencapai tujuan muhammadiyah
Dalam mencapai tujuan muhammadiyah
tersebut maka dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.Mengembangkan
lembaga keuangan mikro,koperasi,dan BMT sebagai wadah kerjasama dan
pemberdayaan antar pelaku usaha ekonomi di lingkunganPersyarikatan menuju pada
kekuatan dan kemandirian Muhammadiyah sebagai gerakan ekonomi.
2.Meningkatkan
pembinaan kualitas sumber daya manusia pelaku usaha ekonomi umat melalui
kegiatan pelatihan ,pendampingan,dan konsultasi bisnis yang intensif dan
sistematik.
3.Mengembangkan
usaha/bisnis barang konsumsi dan usaha-usaha unggulan yang memiliki nilai
tambah yang tinggi,disertai dengan dukungan permodalan,sumber daya manusia,dan
jaringan yang kuat di seluruh lingkungan Persyarikatan.
4.Mengembangkan
model pemberdayaan ekonomi yang berskala mikro,kecil dan menengah yang
didasarkan atas kekuatan sendiri sebagai wujud cita-cita kemandirian ekonomi
umat.
5.Mengembangkan
jaringan dan kerjasama dengan pemerintah,swasta dan lembaga-lembaga lain dalam
program-program pemberdayaan ekonomi khususnya ekonomi mikro,kecil,dan menengah
yang berdampak langsung dalam membangun kekuatan masyarkat kecil(akar
rumput)yang dhua’fa melalui model-model kegiatan ekonomi alternatif.
6.Mengembangkan
jumlah dan kualitas BMT(Baitul Mal wa Tanwil)Muhammadiyah disertai peningkatan
mutu sumberdaya manusia,tatakelola,jaringan dan kerjasama untuk mencapai
tingkat keunggulan sebagai sarana pemberdayaan ekonomi umat/masyarakat.
7.Peningkatan
gerakan ekonomi dikalangan warga Muhammadiyah disertai pembentukan mentalitas
dan budaya kewirausahaan serta berbagai pelatihan sehingga terbangun kondisi
dan infrastruktur Muhammadiyah sebagai kekuatan ekonomi.
8.Mengembangkan
jaringan lembaga keuanganan mikro (syariah) di lingkungan persyarikatan untuk
memperkuat kemampuan BTM/BMT melalui suatu wadah kerjasama yang mampu berperan
meningkatkan akses kepada sumber daya ekonomi khususnya pendanaan,selain
meningkatkan kemampuan manajemen BTM/BMT dan pengorganisasiannya dalam sistem
organisasi Muhammadiyah.
9.Meningkatkan
pengentasan kemiskinan dengan instrumen ZIS dan usaha-usaha ekonomi yang
memiliki nilai tambah yang tinggi khususnya yang berskala kecil,mikro,dan
menengah dengan memanfatkan berbagai jaringan yang dimiliki Muhammadiyah
termasuk yang berbasis di cabang dan Ranting.
10.Meningkatkan
kualitas sumberdaya,organisasi dan manajemen,administrasi,sinergi,dan pelayan
dalam menggerakkan,pengelolaan dan pemanfaatan wakaf dan ZIS(Zakat,Infak,dan
Shodaqah )dengan memobilisasi seluruh potensi.
11.Pengembangan
pemanfaatan fungsi pengelolaan fungsi pengelolaan zakat,infak,dan shodaqah ke
hal-hal yang lebih prokduktif selain yang bersifat kedermawanan.
12.Meningkatkan
pembinaan dan jaringan lembaga-lembaga ZIS Muh sehingga memiliki fungsi yang
efektif dan produktif dalam menjalankan kegiatannya.
D.Kendala dan hambatan yang dihadapi muhammadiyah
Sejajar dengan perkembangan muhammadiyah yang berkembang
pesat,dibalik itu semua juga menghadapi tantangan dalam diri muhammadiyah itu
sendiri sehingga diperlukan introspeksi bagi seluruh jajaran
Muhammadiyah.Kelemahan tersebut berkisar antara lain:
(1) terlambat atau tidak meningkatkan kualitas dan
intensitas pengelolaan masjid dan amal usaha secara optimal dan secara lebih
baik;
(2)
abai atau lalai dalam menjaga milik sendiri;
(3) tidak selektif dalam menerima anggota atau mereka
yang bekerja di amal usaha dan kurang pembinaan;
(4) kurang atau tidak memiliki militansi yang tinggi,
berkiprah apa adanya, dan berbuat sendiri-sendiri atau sibuk sendiri tanpa
terkait dengan kepentingan Muhammadiyah;
(5) lebih tertarik pada urusan politik dan hal-hal yang
bersifat mobilitas diri serta tidak peduli pada kepentingan dakwah dan
menggerakkan Muhammadiyah;
(6) kurang solid dan konsolidasi gerakan;
(7) kurang/lemah komitmen, pemahaman, dan pengkhidmatan
terhadap misi serta kepentingan Persyarikatan.
Untuk menangani masalah tersebut maka diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut:
(a) menanamkan kembali kepada anggota mengenai hakikat
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam agar seluruh anggota Persyarikatan yakin dan
paham betul akan kebenaran Islam yang menjadi misi utama Muhammadiyah, sehingga
tidak ragu-ragu dan tidak memilih gerakan lain.
(b) memahami dan menghayati secara mendalam mengenai hakikat
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid,
sehingga mereka berada dalam posisi untuk menampilkan Islam yang bersifat
pemurnian sekaligus pembaruann, tidak juga terjebak pada sekularisasi pemikiran
Islam yang lepas dari sumbu dasar Islam.
(c) Menggerakkan Muhammadiyah dalam melaksanakan dakwah dan
tajdid melalui usaha-usahanya secara ikhlas, sungguh-sungguh, gigih, dan
berkelanjutan sehingga secara istiqamah dan militan menjadi kekuatan umat yang
berjuang menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
(d) Menggalang ukhuwah dan soliditas internal gerakan
sehingga menjadi kekuatan yang kokoh; tidak tercerai-berai, dan tidak berpaling
ke gerakan lain apapun bentuknya apalagi gerakan politik kendati bersayap
dakwah sebab Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah yang sudah teruji dan tidak
ada kepentingan politik kekuasaan.
(e) Mengembangkan sistem gerakan melalui penguatan jama‘ah,
jam‘iyah, dan imamah sehingga gerak Muhammadiyah berjalan secara terorganisasi
dan kuat; memiliki disiplin organisasi yang tinggi, dan semuanya hanya bernaung
dalam sistem Muhammadiyah secara utuh.
(f) Menyiapkan sumberdaya manusia dan kader yang unggul,
militan, cerdas, dan siap membela organisasi dengan istiqamah dan rasa memiliki
dan berkomitmen yang tinggi.
(g) Menata dan mengkonsolidasi kembali seluruh amal usaha
sebagai alat/kepanjangan misi Persyarikatan sekaligus ajang kaderisasi
Muhammadiyah, termasuk menyeleksi dan membina seluruh orang yang berkiprah di
dalamnya, sehingga amal usaha itu benar-benar mengikatkan, memposisikan, dan
memfungsikan diri sebagai milik Muhammadiyah, dan bukan milik mereka yang
berada di amal usaha apalagi nilik organisasi lain,yang harus dikelola dengan
sistem dan disiplin organisasi Muhammadiyah.
(h) bersikap tegas terhadap organisasi manapun yang masuk
dan dapat mengganggu tatanan serta kelangsungan Muhammadiyah, lebih-lebih
terhadap partai politik apapun termasuk partai politik yang mengemban misi
dakwah sebagai mereka adalah organisasi lain yang berada di luar, bahwa
semuanya harus dibingkai ukhuwah tentu saja tetapi harus bersikap timbal-balik
dan saling mengormati.
(i) Melakukan langkah-langkah pembinaan anggota secara
intensif dan sistematik dengan pendekatan-pendekatan klasik dan baru agar
tumbuh sebagai anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyahh yang istiqamah
dan membela sepenuh hati misi serta kepentingan Muhammadiyah, lebih-lebih di
saat kritis dan harus memilih.
(j) Mengembangkan usaha dan kemampuan-kemampuan kompetitif
serta jaringan-jaringan kerjasama secara independen dengan pihak manapun
sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan yang unggul dan dirasakan kehadirannya
sebagaimana layaknya gerakan Islam yang terbesar di negeri ini.
Apabila semua langkah-langkah itu dijalankan maka muhammadiyah akan lebih
cepat maju dan mudah dalam menjalankan gerakannya untuk mewujudkan masyarakat
yang sebenar-benarnya.Gerakan dakwah muhammadiyah tidak bisa lepas dari
berbagai bidang yang ada dalam muhammiyah, yang dimana di dalamnya semua itu
saling berkaitan.Majunya berbagai bidang akan mendorong untuk mudahnya
muhammadiyah dalam berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar.
Muhammadiyah dan politik
Berbicara tentang Muhammadiyah
dan Politik, tidaklah dimaksudkan untuk membawa pemikiran kepada perwujudan
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi politik, apalagi menjadi partai politik.
Namun, sejauh yang bisa kita amati sepanjang sejarah peran serta Muhammadiyah
dalam dinamika Bangsa Indonesia, adalah wajar apabila kita merenungkan kembali
peran amar makruf nahi munkar yang
selama ini menjadi trade mark Muhammadiyah, bukan hanya dalam dataran sosial
kemasyarakatan,
tetapi juga dalam dataran sosial politik.
Akhir-akhir ini banyak komentar yang menyatakan bahwa dengan masuknya
Muhammadiyah dalam diskursus politik praktis, berarti telah meninggalkan
khittahnya sebagai gerakan amar makruf nahi munkar.
Betulkah demikian ? tulisan berikut ini mencoba melihat realitas hubungan
Muhammadiyah dan politik, serta dampak logisnya dalam konteks amar
makruf nahi munkar.
Hubungan Muhammadiyah dan Parpol
Untuk
memahami bagaimana sebenarnya hubungan Muhammadiyah dan Partai Politik, kita
tidak bisa hanya sekedar mengatakan bahwa Muhammmadiyah adalah sebuah ormas
sosial keagamaan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan parpol. Hal
tersebut merupakan statemen yang amat sederhana dan terlalu lugu. Untuk
memahami bagaimana sebenarnya sikap Muhammadiyah mengenai hubungan dirinya
dengan partai politik dan politik, kita perlu melakukan telaah historis-empiris
sepanjang perjalanan organisasi ini sejak berdirinya tahun 1912 hingga
sekarang. Dalam kurun waktu tersebut, setidak-tidaknya terdapat empat masa
dengan situasi politik yang berbeda, yakni masa Demokrasi Liberal, masa
Demokrasi Terpimpin, Masa Orde Baru, dan Masa Reformasi.
Pada
masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959, hubungan
Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika pemerintah
mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah
ikut mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam
Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana Muhammadiyah menjadi anggota istimewa
partai politik ummat Islam pertama tersebut. Selama waktu tahun 1945 hingga
1959, kita melihat 50 % keanggotaan Masyumi adalah kader-kader Muhammadiyah.
Dan selama waktu itu pula, kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan di kabinet
Hatta, Sahrir, Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin, Burhanuddin Harahap, Ali I,
Juanda, hingga Ali II. Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memang
sedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan
Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang Tanwir
Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta
yang merekomendasikan peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di
Masyumi. Hal serupa terulang pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 1957, dengan
rekomendasi yang lebih jelas, agar Muhammadiyah keluar dari anggota istimewa
Masyumi. Namun melaksanakan keputusan ini tidaklah mudah di lapangan. Pada
sidang Tanwir tahun 1958, persoalan ini mengambang kembali, dan justru Sidang
menyerahkan kepada PP Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada Sidang Tanwir tahun 1959
di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakan voting. Hasilnya 13
orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari keanggotaan Masyumi, 18
menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini baru tuntas ketika PP Muhammadiyah
menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari
keanggotaan Masyumi.
Pada
masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak peristiwa yang bisa
kita telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasi yang kurang kondusif.
Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS,
hanya merupakan boneka yang dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari
presiden. Dari sisi politik, Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim
idealis tidak banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini. Pada paruh pertama
masa Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan masyarakat (dimobilisasi
untuk) mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya berbagai gelar untuk
Soekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham
Soekarnoisme. Hingga kini, sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam
berbagai atribut partai Politik beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah,
Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap
kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyak melakukan penyimpangan
dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada paruh kedua masa Demokrasi Terpimpin,
arus balik terjadi, di mana hujatan pada sistem dan kepemimpinan nasional
semakin seru, yang berujung pada lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah
peristiwa G.30/S/PKI.
Pada
masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan yang
mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada
penyederhanaan organisasi sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik).
Sayangnya, langkah ini banyak berimplikasi pada peminggiran peran partai
politik dalam proses pembangunan. Sementara di sisi lain, menguatnya institusi
pemerintah yang diperkuat dengan (Partai) Golkar. Secara kelembagaan,
Muhammadiyah tidak memiliki hubungan apapun dengan partai politik pada masa
ini. Namun dampak dari situasi politik ini bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap
ummat Islam umumnya) adalah tiadanya ikatan emosional yang kuat dengan partai
politik manapun. Dan inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dalam mana
Muhammadiyah lebih menekankan partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan
wacana intelektual, misalnya tentang konsep kenegaraan, konsep pembangunan
politik, pembangunan ekonomi dan seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik
maupun penelitian dan penulisan
baik yang diselenggarakan oleh PTM maupun Persyarikatan. Sementara itu beberapa
kader Muhammadiyah yang memiliki bakat dan kesempatan untuk berpolitik praktis,
dipersilahkan untuk bergabung ke PPP, Golkar, maupun PDI. Situasi inilah yang
kemudian melahirkan komitemen Muhammadiyah sebagai tenda besar kulturalyang diharapkan
tetap menjaga jarak dengan semua partai politik sekaligus melindungi para
politisinya yang ada di mana-mana. Memang situasi keterkungkungan politik ini
ada juga dampaknya secara organisatoris terhadap Muhammadiyah (dan juga
terhadap ormas lainnya), ketika diterapkan UU Keormasan nomor 8 tahun 1985,
terutama masalah asas tunggal Pancasila. Pada Anggaran Dasar (kesebelas) tahun
1985 melalui Muktamar ke 41 di Surakarta. Pada Bab I Pasal 1 tentang Nama,
Identitas dan Kedudukan, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini (Muhammadiyah)
beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara itu pada Bab
II Pasal 2 tentang Asas, dinyatakan bahwa “Persyarikatan ini berasas
Pancasila”. Kultur politik Orba Baru ini rupanya sebagian masih
tersisa sekarang. Arus besar Reformasi yang terjadi sejak 1997, sebenarnya
tidak lepas dari peran Muhammadiyah.
Pada
era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian yang
signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk mengembalikan
potensi politik bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi pematangan dan
implementasi gerakanamar makruf nahi munkar dalam
aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa Orde Baru. Pada Sidang
Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru), peluang
Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar. Namun rupanya keputusan Sidang
Tanwir tersebut amat dewasa, dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan
menjadi partai politik. Warga Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai
politik atau bergabung dengan partai yang ada, dan secara institusional tidak
ada hubungan antara parpol manapun dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini, yang
kita lihat adalah formulasi peran politik Muhammadiyah melalui kader-kadernya
dalam apa yang disebut-sebut sebagai high politik tadi.
Beberapa isyu politik penting berhasil diangkat, seperti demokratisasi,
pemberantasan KKN, dan Keadilan. Seluruh isyu tersebut memang merupakan
mainstream Reformasi dan sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai
gerakan reformis. Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat kita
lihat betapa perwujudan kepemimpinan nasional dengan lahirnya poros tengah dan
mengusung Gus Dur ke Istana (melalui Pemilu 1999), meskipun pada akhirnya
langkah ini harus segera dikoreksi pada pertengahan tahun 2002. Pada perjalanan
pemerintahan Megawati, akumulasi ketidakpuasan terhadap perjalanan reformasi
ini semakin menguat. Krena itu wajar bila pada momentum Pemilu 2004,
Muhammadiyah (dan seluruh komponen reformasi) berharap terjadi perubahan yang
signifikan.
Kontekstualisasi amar makruf nahi munkar
Banyak orang berbicara bahwa dakwah
amar makruf nahi mungkar yang telah menjadi “khittah” Muhammadiyah sejak awal,
dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan
sosial semata. Padahal, apabila kita mau merenungkan, Rasulullah pernah
menyatakan bahwa apabila engkau melihat suatu
kemungkaran, maka hadapilah dengan tanganmu, dan apabila engkau tidak bisa,
maka hadapilah dengan lidahmu, dan apabila tidak bisa, maka hadapilah dengan
nuranimu, akan tetapi menghadapi kemungkaran dengan nurani adalah
selemah-lemahnya Iman. Sepanjang masa orde baru, jargon amar
makruf nahi munkar tersebut oleh para petinggi Muhammadiyah sering hanya
dibatasi pada level dakwah dan pendidikan.
Untuk ini terdapat beberapa alasan. Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan
Dakwah dan Pendidikan masih pada tahapan ekspansi secara kuantitas, sehingga
belum menyentuh aspek politik. Kedua, Iklim politik masa orba yang kurang
kondusif untuk mengemukakan gagasan-gagasan langsung yang berkaitan dengan
keputusan-keputusan politik apalagi misalnya tentang isu suksesi. Ketiga,
terkait dengan yang kedua, partai politik tidak sepenuhnya dapat
merepresentasikan gagasan rakyat. Pada masa pascareformasi sekarang ini, tidak
ada salahnya, bahkan harus, bagi muhammadiyah untuk melakukan ijtihad politik,
dengan mempertegas komitmen amar makruf nahi munkar pada level yang lebih
tinggi, yakni kepemimpinan nasional. Mengapa ?
Terdapat beberapa argumen yang
patut kita perhatikan. Pertama, menyimak
hadits Nabi di atas, jelas menunjukkan suatu keharusan untuk menempatkan amar
makruf dengan tangan (kekuasaan) menjadi prioritas utama. Sekarang ini
reformasi telah digulirkan, di antara jargonnya adalah pemberantasan KKN. Dalam
model kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik, hanya tauladan pucuk
pimpinan nasional yang bisa berpengaruh. Ibaratnya, bila sapu yang digunakan
untuk membersihkan KKN itu bersih, baru KKN bisa dihilangkan, akan tetapi jika
sapunya kotor, mana mungkin bisa membersihkan. Bagi Muhammadiyah, maka tidak
ada jalan lain kecuali merebut kepemimpinan nasional, bila ingin menyelamatkan
reformasi. Kedua, Melihat perkembangan hasil
reformasi selama lima tahun terakhir, menunjukkan hal yang belum
menggembirakan. Dalam aspek ekonomi, tidak suatu perbaikan yang signifikan. Hal
ini tentunya erta terkait dengan visi dan komitmen presiden sebagai panutan
rakyat. Dengan demikian misi amak makruf nahi munkar tidaklah menjadi hilang,
malah diberi pemaknaan sesuai konteksnya.
Dakwah
Kultural Vs Politik Praktis ?
Beberapa kalangan, seperti JIL
(Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)
beberapa waktu ini sibuk melakukan kritik terrhadap keputusan PP Muhammadiyah
yang mendukung pencapresan Amien
Rais. Di antaranya adalah, mempertanyakan misi dakwah kultural yang sudah
diputuskan dalam sidang Tanwir di Bali beberapa tahun lalu, mengapa harus
diganti dengan orientasi politik praktis sesaat ? Juga ada yang
mempermasalahkan hubungan Muhammadiyah-PAN, dengan menyatakan bahwa yang
memiliki kewenangan mengajukan capres dan cawapres adalah partai politik, bukan
ormas seperti Muhammadiyah. Mengenai pertentangan atau dikotomi dakwah kultural
Vs Politik praktis, dapat dijelaskan sebagai berikut. Ide dakwah
kultural sesungguhnya adalah suatu model dkwah yang dikembangkan Muhammadiyah
melalui aspek budaya,
seperti budaya bersih, budaya disiplin, budaya keadilan, budaya hemat, budaya
jujur, budaya rasional, budaya profesional, dan seterusnya. Dalam konteks
pembenahan Indonesia era reformasi ini, maka tentu saja pemberantasan budaya
KKN menjadi agenda penting bagi bangsa Indonesia, juga Muhammadiyah. Inilah
dakwah kultural, yang dalam aspek politiknya mengandung implikasi ketauladanan,
pergerakan, dan mobililasi yang berujung pada kepemimpinan bangsa. Dalam
konteks ini, maka sesungguhnya tidak ada dikotomi dakwah kultural Vs politik
praktis, namun yang ada adalah strategi dakwah kultural dengan pilihan pada
sosok kepemimpinan yang bakal memberikan tauladan.
Beberapa Persoalan Penting
Untuk lebih menghayati bagaimana
variabel-variabel penting yang perlu mendapatkan perhatian dan sekaligus pemikiran
kita, setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi bidang garap kita dalam waktu
dekat ini.
1. Membangun
Visi Indonesia Baru
Kepentingan politik Muhammadiyah
dalam konteks membangun masa depan Indonesia tidak lain adalah dengan memulai
tahapan yang telah menjadi cirikhasnya, yakni meneruskan reformasi yang masih
belum tuntas. Apa saja itu, dan apa relevansinya dengan gerakan Muhammadiyah ?
Membuka wacana hubungan gerakan Muhammadiyah dan Reformasi tidaklah mudah,
terutama bagi orang yang tidak mengetahui asal usul gerakan ini. Terdapat
beberapa karakteristik yang menunjukkan persamaan antara gerakan Muhammadiyah
dengan reformasi. Pertama adalah sifat pemberontakannya terhadap tradisi dan
kemapanan. Muhammadiyah lahir tahun 1912 dengan maksud memberikan pengajaran
Igama (baca: agama) terutama bagi para pelajar dan di lembaga persekolahan yang
waktu itu merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh
ummat Islam. Penyelenggarakan pengajian
dan pendidikan agama semacam itu adalah di luar kebiasaan. Demikian juga
reformasi 98, menunjukkan pemberontakannya terhadap kemapanan orde baru yang
telah berlangsung 32 tahun. Isyu sentral yang terkristalisasi dalam gerakan
reformasi 98 ini antara lain soal demokratisasi dan pemberantasan KKN. Isyu
demokratisasi antara lain soal suksesi kepemimpinan, pemilihan presiden secara
langsung dan disentralisasi. Dalam konteks ini maka sebetulnya kepentingan
Muhammadiyah dalam melanjutkan reformasi tidaklah perlu dicurigai, karena
memang ada kesamaan karakter.
Apa yang sebenarnya diinginkan
Muhammadiyah dalam melanjutkan proses reformasi di tanah air ?
Apakah benar bahwa Muhammadiyah
telah bergeser dari orientasi dakwah dan pendidikan yang substantif ke arah
pragmatis ? Kita berikan beberapa bukti di antaranya : Pertama, Setelah
Muhammadiyah menggulirkan isyu Negara Federasi yang kemudian menjadi otonomi
daerah, justru yang menikmati adalah penguasa-penguasa daerah, sementara
muhammadiyah tidak mendapatkan keuntungan apapun. Pada saat mengegolkan UU
Sisdiknas, Muhammadiyah menjadi pelopor, namun setelah UU itu jadi, banyak
kalangan yang memanfaatkannya dengan pendepatan kepada pemerintah tentang dana
20 % untuk pendidikan. Demikian juga sekarang dengan pemilihan presiden secara
langsung, maka yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki anggota yang secara
kuantitas memenuhi, sementara Muhammadiyah justru pada kualitasnya. Dengan
demikian tidak benar bahwa gerakan politik Muhammadiyah akhir-akhir ini hanya
untuk kepentingan sesaat, tetapi justru untuk kepentingan bangsa jangka
panjang.
2. Visi
Pemimpin bangsa menurut Muhamma- diyah
Bila
kita lihat hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah seperti yang nampak dalam
hasil Sidang Pleno diperluas PP Muhammadiyah tanggal 10-12 Pebruari 2004,
pemimpin bangsa yang diharapkan adalah seorang dengan ciri-ciri :
a. Reformis
b. Bebas dari KKN
c. Mampu
menyelenggarakan tata pemerintahan dengan baik
d. Memiliki visi kebangsaan
yang luas
e. Tegas dan
berwibawa dalam membawa bangsa ke tengah pergaulan internasional
f. Mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat
g. Menunjukkan
kehidupan bangsa menuju ke masa depan yang baik
Bila pada Pilihan Presiden
tanggal 5 Juli 2004 Muhammadiyah menentukan sikap untuk memunculkan kader
terbaiknya Prof. Dr. H. Amien Rais sebagai calon
Presiden, maka ada beberapa catatan yang perlu kita simak, yakni :
a. Bahwa langkah tersebut
diambil tentunya dalam rangka kerja besar Muhammadiyah berupa amar makruf nahi
munkar. Dengan demikian alasan paling tepat untuk memunculkannya adalah untuk
mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa ini. Seorang Amien Rais
yang telah berhasil mempelopori gerakan reformasi sejak 1997, sudah sepantasnya
diberi kesempatan untuk melanjutkan langkah-langkah reformasi yang sudah
mengalami kemandegan selama empat tahun terakhir.
b. Bilamana dalam pemilihan
presiden nanti Amien Rais berhasil menduduki sebagai orang nomor satu dalam
republik ini, Muhammadiyah tidak perlu terlalu berbangga, namun justru tetap
mendukung langkah-langkah yang positif, dan menjadi yang pertama untuk
mengingatkan bila terjadi penyimpangan dalam pemerintahan. Jangan sampai
terulang pengalaman seperti pendukung Gus Dur yang membabi buta.
c. Bila tidak berhasil
untuk menduduki jabatan Presiden, Muhammadiyah tidak perlu berkecil hati. Apa yang
sudah diupayakan hanyalah sebuah usaha dengan niat yang baik. Muhammadiyah
harus tetap konsisten sebagai gerakan amar makruf nahi munkar, meski tidak bisa
dengan tangan (kekuasaan), masih ada jalan yang lain (dengan lisan atau
wacana).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar